Bromo Trip: Pesona Lautan Pasir yang Legam dan Lukisan Langit yang Cerah
Kawasan Bromo Tengger Semeru menyimpan keindahan lain. Kini kami menapak di padang pasir yang tak berujung, tak beralur. Hanya mata angin yang mampu mengarahkan kaki ini.
Mobil jeep berdecit meninggalkan jejak ban dan kepulan debu pasir. Kami berhamburan keluar dan bersuka ria menatap langit biru dan padang pasir yang luas berbatas kaki kawah.
Melihat lautan pasir ini serasa hidup tak berbatas. Kami bebas berjumpalitan di tengah padang. Tak ada pohon sehingga terik mengguyur kami dengan sangat leluasa. Hanya angin yang mampu menguapkan keringat.
Panas membuat pasir-pasir ini mengering dan beterbangan seperti debu yang kasar. Kami menghadang angin yang menerpa wajah berjalan menuju salah satu kawah Bromo. Kami dikeliling bukit-bukit hijau memagari seakan kami berada di kuali raksasa mahakarya Maha Esa. Ini yang namanya kaldera, fitur vulkanik. Dalam perjalanan ini, ada dua alternatif: berkuda dan berjalan kaki. Kuda-kuda disewakan untuk mempercepat langkah menuju bukit pasir dengan kawah berasap di puncaknya.
Aku memilih berjalan kaki saja. Menanjaki bukit pasir ada nilai serunya juga. Kami dengan leluasa berpindah, melompat, dan berdiri di antara gundukan pasir yang memadat, melihat guratan-guratan bekas lahar pernah mengalir. Di kejauhan terlihat orang-orang bergerak seperti semut menuju puncak kawah. Kawahnya cukup tinggi. Saat mencapai kakinya saja, bau belerang begitu menyengat hidung. Ada tangga panjang yang sempit yang bisa kami tapaki untuk menuju kawah itu.
Jika berbalik badan, di bawah kami tampak seperti miniatur kaldera. Kecil. Pasir semua dengan orang-orang yang menyemut. Tampak pula sebuah pura di tengah-tengahnya. Semua tampak tak berwarna. Pasir-pasir yang terang karena disinari matahari pagi. Tak ada tempat berteduh sama sekali dan tak ada pula pohon-pohon yang menghiasi. Satu-satunya yang berwarna cerah adalah langit sehingga terlihat kontras tapi indah.
Apalagi pesonanya? Tentu saja belum lengkap kalau belum berdiri di bibir kawah yang mengepulkan asap putih tebal. Kami tidak dapat mengeliling bibir kawah karena tempat berpijaknya hanya setengah lingkaran dari bibirnya itu. Dari puncak ini terlihat puncak-puncak bukit yang lain, gugusan bukit pasir di pinggirannya, dan kepulan asap yang muncul di lubang kawah.
Selebihnya, setelah memanjakan mata dengan pesona lautan pasir dan kawah Bromo, sangat sayang jika tidak ikut merasakan nikmatnya berselonjoran, melompat riang, berekspresi sepuasnya. Karena padang diciptakan sebagai arena dan kita bintangnya.
Photos: courtesy of Upin Ipin, Yozi, dan Ageng Wuri
Mobil jeep berdecit meninggalkan jejak ban dan kepulan debu pasir. Kami berhamburan keluar dan bersuka ria menatap langit biru dan padang pasir yang luas berbatas kaki kawah.
Melihat lautan pasir ini serasa hidup tak berbatas. Kami bebas berjumpalitan di tengah padang. Tak ada pohon sehingga terik mengguyur kami dengan sangat leluasa. Hanya angin yang mampu menguapkan keringat.
Panas membuat pasir-pasir ini mengering dan beterbangan seperti debu yang kasar. Kami menghadang angin yang menerpa wajah berjalan menuju salah satu kawah Bromo. Kami dikeliling bukit-bukit hijau memagari seakan kami berada di kuali raksasa mahakarya Maha Esa. Ini yang namanya kaldera, fitur vulkanik. Dalam perjalanan ini, ada dua alternatif: berkuda dan berjalan kaki. Kuda-kuda disewakan untuk mempercepat langkah menuju bukit pasir dengan kawah berasap di puncaknya.
Aku memilih berjalan kaki saja. Menanjaki bukit pasir ada nilai serunya juga. Kami dengan leluasa berpindah, melompat, dan berdiri di antara gundukan pasir yang memadat, melihat guratan-guratan bekas lahar pernah mengalir. Di kejauhan terlihat orang-orang bergerak seperti semut menuju puncak kawah. Kawahnya cukup tinggi. Saat mencapai kakinya saja, bau belerang begitu menyengat hidung. Ada tangga panjang yang sempit yang bisa kami tapaki untuk menuju kawah itu.
Jika berbalik badan, di bawah kami tampak seperti miniatur kaldera. Kecil. Pasir semua dengan orang-orang yang menyemut. Tampak pula sebuah pura di tengah-tengahnya. Semua tampak tak berwarna. Pasir-pasir yang terang karena disinari matahari pagi. Tak ada tempat berteduh sama sekali dan tak ada pula pohon-pohon yang menghiasi. Satu-satunya yang berwarna cerah adalah langit sehingga terlihat kontras tapi indah.
Selebihnya, setelah memanjakan mata dengan pesona lautan pasir dan kawah Bromo, sangat sayang jika tidak ikut merasakan nikmatnya berselonjoran, melompat riang, berekspresi sepuasnya. Karena padang diciptakan sebagai arena dan kita bintangnya.
Photos: courtesy of Upin Ipin, Yozi, dan Ageng Wuri
akhirnyaaa, berhasil komen juga x)
BalasHapusbtw, mataharinya sepertinya nyengat, tapi dingin ya?
udah mulai panas kalau di lautan pasir. yang dingin menggigil itu pas di Pananjakan...Heheheh....
BalasHapus