Trip to Bali : Singkat Mengusik Kesan
Bali. Akhirnya aku berkesempatan liburan ke sana di tengah kejenuhan kuliah dan kerja. Junisatya yang mengajakku ke sana bersama keluarganya.
Bali (yang katanya) adalah
pulau yang eksotis, dicintai para bule, dan digilai pasangan yang honeymoon,
punya segudang kesan.
Kami menginap di hotel
daerah Legian. Malam itu,dari bandara Ngurah Rai, sepanjang jalan macet.
Jalanan Bali itu kecil, ya, padahal jalan raya. Meski pulau ini telah mendunia,
tapi Bali tetaplah pulau kecil-nya Indonesia. Apalagi memasuki kawasan Legian
yang merupakan kawasan teramai sejagad pada malam hari, jalanannya lebih sempit
lagi. Mobil parkir di tengah jalan, tak bergerak.
Rute perjalanan pertama di
Sabtu pagi yang cerah adalah Pantai Tanjung Benoa. Tapi sebelumnya mampir dulu
di monumen Bom Bali tak jauh dari hotel.
Trip eksotis dimulai. Mobil
melaju dengan pak sopir yang menyenangkan mengenalkan segala hal tentang Bali sampai
ke cerita wayangnya. (Euforia kuliah banget itu, berhubung baru saja mendalami
kisah wayang di salah satu mata kuliah.)
Pagi hari itu, buatku segala
sesuatu terasa berjalan lamban. Jalanan yang tidak terlalu ramai mestinya kita
bisa lebih leluasa bergerak. Tapi semuanya tampak bersahaja dalam bergerak, bak
adegan film slow-motion. Lalu waktu juga seakan melambat, memberikan celah
buatku untuk menikmati detik demi detik perjalanan liburan yang singkat itu.
Tanjung Benoa
Sampai juga di pantai ini.
Langit membiru dan ombak pun termasuk tenang. Lingkungannya bersih terawat. Ada
banyak kegiatan mantai yang bisa dilakukan pagi itu, mulai dari diving,
snorkeling, banana boat, berperahu, parasailing. Ah, sayang sekali aku tidak
membawa baju ganti. Banyak paket wahana air yang bisa diikuti. Aku tertarik
dengan parasailing, terbang di atas laut dengan parasut. Akhirnya kami memilih
paket yang tidak basah-basahan, yaitu berperahu dan memberi makan ikan di laut.
Kata petugas wisatanya, semalam purnama. Biasanya ikan kecil-kecil naik semua.
Dan benar saja, ikan kecil cantik-cantik berenang-renang di permukaan air.
Serasa melihat ikan di akuarium layaknya ikan hias dengan warna yang beragam.
Setelah melihat-lihat ikan,
kami pun berlayar ke pulau penangkaran penyu. Tempatnya seru, semacam kebun
binatang mini. Ada penyu yang sudah berumur 70 tahun. Para wisatawan bisa
bergantian menyentuh dan berfoto dengan binatang yang ada di sana.
Garuda Wisnu Kencana (GWK)
Seperti kebanyakan wisatawan,
GWK menjadi tempat wajib dikunjungi. Belum ke Bali kalau belum ke GWK. GWK ini
tidak jauh dari kampus Udayana. Patung-patung Wisnu dan Garuda mulai tampak
dari kejauhan. Aku tidak begitu paham dengan kisah wayangnya. Tapi aku
terkesima dengan tembok-tembok raksasa di kawasan GWK. Tembok ini mengingatkan
dengan Lembah Harau di Payakumbuh, Sumatera Barat. Bedanya, Lembah Harau itu
alami, sementara tembok-tembok tinggi menjulang di GWK ini buatan manusia.
Keratannya rapi dan membentuk blok-blok yang di antaranya ada jalan. Ada patung
Wisnu dan Garuda juga yang seba raksasa. Tempat ini keren, sebagai wujud kota
wisata yang berlatar budaya, Bali mampu mewakili corak kebudayaan itu sendiri.
Sebelum menjelajahi
keindahan GWK ini, kami disuguhi pertunjukan tarian bali di teaternya yang
menjadi pengantar wisata budaya kota itu.
Sangeh
Tempat wajib kunjung lainnya
adalah Sangeh. Di sana kami melewati hutan Sangeh dengan monyet-monyet nakal
yang suka merebut benda yang dipegang oleh wiasatawan. Sebelumnya kami
diberikan kain berwarna kuning atau ungu untuk menutup aurat. Cowok-cowok yang
memakai celana pendek harus membelitkan kain itu menutupi pinggang sampai
lutut. Untuk cewek juga begitu. Karena pakaianku memang sudah tertutup, aku
tinggal mengikat kain kuning kecil di pinggang. Hutan Sangeh dianggap sebagai
kawasan suci karena tempat Dewa Brahmana turun ke bumi. Apalagi ada Pura
Uluwatu di tengah-tengahnya, sehingga kami para wisatawan harus bisa
menghormati itu dengan mengenakan kain penutup.
Di pinggir hutan, kita bisa
melihat pemandangan laut lepas. Melihat-lihat pemandangan, duduk-duduk di Pura,
berfoto di tamannya, terasa kurang mantap kalau lagi-lagi tidak ditutup dengan
sesuatu yang bernuansa budaya. Wisatawan digiring ke sebuah teater kecil di
puncak Sangeh yang menghadap ke laut lepas. Itu sekitar pukul 5 sore. Tari
Kecak siap dipertunjukkan dengan ritual tertentu menyambut datangnya malam. Baru
kali aku menonton Tari Kecak live ditemani pemandangan sunset di atas karang
besar Sangeh.
Tari Kecak menutup
perjalanan wisataku hari itu. Kami harus menembus macet lagi di jalanan kecil
kota Bali. Sebelumnya mampir dulu untuk membeli oleh-oleh. Sepanjang kemacetan
aku kelaparan. Warung-warung pinggir jalan serasa memanggil-manggilku untuk
mampir. Niat hati berhenti untuk makan, tapi di beberapa tempat, ada daging
babi utuh dipajang. Aku mengurungkan niat. “C’mon, This is Bali. Jangan heran
jika makanan begitu rupa di sini.” Aku pun harus berhati-hati memilih menu di
sini. Cukup cari menu yang berlabel halal atau Rumah Makan Padang. Wisata bisa
ke mana saja, tapi tetap waspada dengan sesuatu yang bisa atau tidak untuk
masuk ke perut.
Meski lelah menggerogoti
badan, sampai di hotel aku menyempatkan diri untuk berenang. Mumpung kolam
renang sepi. Setiap menit begitu berharga jika hanya dilewatkan dengan tidur.
Pantai Kuta
Pagi hari, sebelum balik ke
Jakarta, kami mampir ke pantai Kuta. Sebenarnya tidak ada yang istimewa di
pantai ini. Menurutku, pantai ini sudah terlalu ramai. Ramai orang berjemur,
berjualan, main pasir, dan surfing.
Untuk tempat indah buat
relaksasi, jelas pantai Kuta bukan pilihan. Pantainya tidak jauh beda dengan
pantai-pantai lain di pulau lainnya. Ujung Genteng masih lebih keren. Tapi yang
kukagumi adalah kebersihannya di tengah keramaian itu.
Pantai
Kuta menutup liburanku. Cuma 2 hari, trip singkat, dadakan, mengusik, tapi
mengesankan.
Latepost Trip to Bali: 24-26 Mei 2013
Bersama Junisatya dan keluarganya.
Komentar
Posting Komentar