Kupikir, semua benda bermotif itu disebut batik. Lalu aku dapat pencerahan, bahwa yang termasuk kategori batik itu yang motif di atas kain yang ditulis atau di-print. Tentu jenis kainnya pun terbatas. Dulu, waktu sekolah, aku malah berpikir bahwa batik itu hanya milik suku Jawa. Tapi makin ke sini, semakin kenal khasanah kekayaan nusantara, aku jadi mengenal berbagai jenis motif batik dari berbagai daerah. Corak-corak batik di Jawa pada
umumnya dapat diidentifikasi dengan mudah. Berbeda dengan corak batik
dari Sumatera yang motifnya lebih ramai bin meriah dengan warna-warna
keras. Lalu beda lagi dengan corak batik di Kalimantan yang cenderung
bermain dengan motif garis dan kombinasi warna selalu diiringi dengan
hitam. Sementara itu corak dari Sulawesi beda lagi. Warnanya beragam,
ada yang pekat, ada juga yang terang-terang. Motifnya pun lebih landai.
Begitu, sih, yang aku tahu setelah selama ini berjalan-jalan ke beberapa
lokasi.
Permainan motif itu dipengaruhi oleh budaya setempat bahkan wilayah suatu daerah, pegunungan atau pantai. Namun, aku masih belum bisa mengklasifikasikan jenis-jenis batik itu. Kubiarkan saja diri ini hanya sebagai penikmat batik. Ilmu perbatikan ternyata lebih dalam dari sekadar motif-motif yang meramaikan pakaian kita.
Aku mulai memiliki pakaian batik sejak kuliah S1 yang kampusnya sarat dengan nilai-nilai budaya. Sejak 2 Oktober dinobatkan sebagai Hari Batik, aku pun semakin paham arti batik dalam keseharian kita. Sejak berduit, alias bekerja, aku pun makin memilih-milih motif serta bahan. Mulai terasa kalau batik itu mahal. Jadi aku pun tidak sembarangan dalam memilih batik. Batik disesuaikan dengan gaya kita tentunya. Karena batik itu bagian dari fashion dunia.
Beberapa bulan lalu, aku hunting batik di pusat perbelanjaan batik di Jakarta. Harganya luar biasa. Rasanya aku nggak mau beli batik sering-sering. Bisa bangkrut. Saat itu aku membeli batik Solo. Konon, batik tulis atau print dari Solo itu cenderung bernuansa gelap. Mulanya aku kurang srek dengan warnanya karena batik Solo jarang bermain warna cerah. Tapi memang warna-warna gelap itu tampak elegan. Itu batik yang kutemui di Jakarta. Waktu itu aku bertekad, kalau aku mampir ke kota asalnya, aku mau beli beberapa motif lainnya.
Kebetulan sekali, aku liburan ke Solo beberapa waktu lalu. Aku berkesempatan mengubek-ubek batik di kampung batik tradisionalnya, Kampung Batik Laweyan. Di sinilah batik Solo pertama kali bermula dan akhirnya mendunia. Aku sempat bertanya, "Bedanya batik masing-masing daerah tuh apanya? Dari mana kita tahu batik khas Solo yang mana?"
Lalu temanku menjawab, "Di sini rata-rata kain batiknya diproduksi sendiri di Solo. Pilih aja yang warna-warna redup, itu batik Solo."
Bahkan temanku yang notabene orang asli sana juga tidak memahami motif-motif Batik. Hanya melihat batik dari warnanya. Oke, yasudahlah. Mungkin lain kali aku bisa berkesempatan mempelajari lebih lanjut.
Jadi, mari kita melihat-lihat Kampung Batik Laweyan ini.
|
Kampung Batik Laweyan |
|
Luas kan kompleksnya. |
Nuansa yang tenang, sepi, dan ramah ini menyambut kedatanganku. Dengan jalan sempit yang hanya muat satu mobil, kampung batik Laweyan ini luas juga dan terpadu dalam 1 lokasi komplek jadul. Berada di sini serasa menerima keramahan Jawa versi Solo tempo dulu. Nuansanya sangat tradisional.
Kami menyusuri kampung batik ini dan mampir di Batik Putra Laweyan. Kami disambut dengan kafe berdekorasi kuno dan teras yang rindang. Bau batik sangat kentara sekali. Sebagian tamu yang kutemui justru para bule. Turis lokal sendiri cenderung beli batik di pusat grosir batik, tanpa harus bersusah payah mengunjungi kampung asal batik itu sendiri. Makanya, aku merasa beruntung bisa melihat koleksi-koleksi batik di sini. Asli buatan putra Laweyan, katanya. Harganya? Sepadan dengan jerih payah membuat batiknya.
Di toko lainnya kami menemukan motif yang lebih banyak lagi. Aku makin bahagia berada di sini. Batik-batik ini bikin aku sadar bahwa Indonesia itu lebih kaya dari apa yang kita tahu.
|
Ini Batik Putra Laweyan. |
|
Koleksi batiknya dengan harga yang sepadan. |
|
Batik kombinasi. |
|
Koleksi batik putra Solo. |
|
Aku menemukan batik dengan warna pastel. |
|
Hunting batik. |
Berburu batik membuat kami berkeringat dan kehausan. Untungnya di kompleks ini ada kafe kopi khusus untuk pengunjung, Kafe Putra Laweyan. Kafe ini didekorasi klasik dengan menjajakan minuman yang juga klasik. Tempat ini benar-benar seperti mesin waktu bagiku. Batik, Solo, tradisi, tempo dulu, semua kudapatkan di kampung batik ini.
Tempatnya mungil dan semua perabotannya serba kayu. Ada beberapa minuman kemasan zaman dulu yang dijual, ada lusinan botol limun di dalam kulkas kecil, ada pula beberapa batang cokelat. Wah, wah ini lebih menyerupai toko jajanan klasik dengan dekorasi unik.
|
Kafe Putra Laweyan |
|
Interior kafe yang klasik. |
|
Salah satu model kopi plus gelasnya yang bisa langsung disajikan. Murah meriah. |
Selalu suka sama batik ... bisa kalap aku kalau ke Kampung Batik Laweyan ini... hehhehehee
BalasHapusIya. Kampung Batik Laweyan sangat menggoda :)
Hapuskampung batik laweyan sangat mengesankan...
BalasHapusWah, kapan-kapan saya mampir ke Kampung Batik Giriloyo di Jogja :)
HapusAku jg suka merayapi aura batik laweyan :)
BalasHapusbukanbocahbiasa(dot)com
Iyaaa aku suka bau batik mbak. Hehehe. Tapi biasanya bahannya kasar-kasar gitu sih ya. *lalu menghayal kalo batik diaplikasikan ke jeans* \(W)/
BalasHapusUdah ada kok jeans batik. Dan malah jadi bagus
HapusUdah ada kok jeans batik. Dan malah jadi bagus
Hapuswah. Laweyan. aku pengen plesir dan hunting di sini. ajakin aku dong Mba
BalasHapusYuk ke sana lagi. Pengennya sih ke sana pas lagi ada duit. Biar bisa belanja batik murah dan asli dari Solo.
HapusHaha jadi penasaran mbak berapa harga batik tulisnya
BalasHapusIya sih ya mahal karena usaha untuk menulis batiknya itu juga lumayan
Beragam. Mulai dari 800ribu hingga 4 juta rupiah. Luar biasa ya. Tapi memang worth sih. Terima kasih sudah mampir.
Hapus