Apa yang Sudah Kulakukan Sepanjang 2017, Sebuah Kaleidoskop
Iseng-iseng ah bikin kaleidoskop perjalanan selama tahun 2017 ini. Setelah aku hitung-hitung, ternyata aktivitas perjalanan tahun ini terbilang lumayan. Ada beberapa wishlist perjalanan yang terkabul tahun 2017.
Ini masuk kategori traveling nggak ya? Aku masukin aja, ya, karena datang ke Passer Baroe dan Kota Tua itu memang diatur khusus. Awal tahun 2017, aku diajak menjelajahi Passer Baroe alias Pasar Baru Jakarta oleh sebuah NGO yang bergerak di bidang transportasi umum. Aku diantar ke Passer Baroe naik Transjakarta edisi vintage, langsung berhenti di depan Gedung Kesenian Jakarta dan Kantor Berita Antara. Karena bertepatan dengan perayaan Imlek, aku mampir ke beberapa kelenteng tua di dalam Passer Baroe, melihat beberapa toko tua milik Tionghoa yang masih ada sampai sekarang atau sekadar berganti nama. Aku juga sempat makan Bakmi Kelinci di Gang Kelinci. Menelusuri jejak sejarah Tionghoa pada masa Jakarta masih bernama Batavia membuat perspektifku tentang Jakarta jadi berubah. Bahwa Batavia dibentuk oleh kaum komunal beberapa bangsa hingga bergenerasi-generasi berikutnya itu terasa nyata.
Datang kedua kali bersama teman-teman dari Komunitas Indonesia Corners yang tetiba ingin ngumpul aja. Namun, saat itu hari Senin yang merupakan hari libur museum se-Indonesia. Akhirnya kami menyusuri bangunan-bangunan tua hingga ke pelabuhan Sunda Kelapa. Kemudian, hujan. Dan, kami pun bubar. Tapi berkesan, kok. Namanya juga ngumpul sama teman-teman Indonesia Corners.
Aku akhirnya kembali ke Bali untuk ketiga kali. Tapi aku tak mau sekadar menghabiskan waktu di Denpasar. Aku liburan bersama teman-teman dari Gagas Media dan Junisatya (as always yang selalu jadi partner trip aku sepanjang masa). Kami mengunjungi seorang teman (aku pernah cerita di sini) di Ubud dan dia menyediakan pondok kos-kosannya sebagai tempat kami berteduh selama di Ubud.
1. Passer Baroe dan Kota Tua
Ini masuk kategori traveling nggak ya? Aku masukin aja, ya, karena datang ke Passer Baroe dan Kota Tua itu memang diatur khusus. Awal tahun 2017, aku diajak menjelajahi Passer Baroe alias Pasar Baru Jakarta oleh sebuah NGO yang bergerak di bidang transportasi umum. Aku diantar ke Passer Baroe naik Transjakarta edisi vintage, langsung berhenti di depan Gedung Kesenian Jakarta dan Kantor Berita Antara. Karena bertepatan dengan perayaan Imlek, aku mampir ke beberapa kelenteng tua di dalam Passer Baroe, melihat beberapa toko tua milik Tionghoa yang masih ada sampai sekarang atau sekadar berganti nama. Aku juga sempat makan Bakmi Kelinci di Gang Kelinci. Menelusuri jejak sejarah Tionghoa pada masa Jakarta masih bernama Batavia membuat perspektifku tentang Jakarta jadi berubah. Bahwa Batavia dibentuk oleh kaum komunal beberapa bangsa hingga bergenerasi-generasi berikutnya itu terasa nyata.
Lalu menjelang pertengahan tahun aku sempat dua kali mengunjungi Kota Tua. Sebenarnya maksud hati hendak jelajah museum yang di kawasan Kota Tua Jakarta. Tapi dalam dua kunjungan itu, aku belum berjodoh dengan museum. Pertama, datang hari Sabtu ke sana tapi malah kesorean. Aku jalan berdua saja dengan Junisatya. Pelataran Kota Tua ramai dengan orang yang hendak bermalam minggu. Ah, kami ke sini bukan untuk bermalam minggu, tapi mau hunting foto. Akhirnya tak lama, aku memilih pulang saja sebelum Kota Tua makin padat.
Datang kedua kali bersama teman-teman dari Komunitas Indonesia Corners yang tetiba ingin ngumpul aja. Namun, saat itu hari Senin yang merupakan hari libur museum se-Indonesia. Akhirnya kami menyusuri bangunan-bangunan tua hingga ke pelabuhan Sunda Kelapa. Kemudian, hujan. Dan, kami pun bubar. Tapi berkesan, kok. Namanya juga ngumpul sama teman-teman Indonesia Corners.
Ceria di Kota Tua. |
2. Ubud dan Nusa Penida
Aku akhirnya kembali ke Bali untuk ketiga kali. Tapi aku tak mau sekadar menghabiskan waktu di Denpasar. Aku liburan bersama teman-teman dari Gagas Media dan Junisatya (as always yang selalu jadi partner trip aku sepanjang masa). Kami mengunjungi seorang teman (aku pernah cerita di sini) di Ubud dan dia menyediakan pondok kos-kosannya sebagai tempat kami berteduh selama di Ubud.
Aku diajak mengunjungi Goa Gajah yang tak jauh dari kediaman Dea, teman kami itu. Lalu menyempatkan diri ke Tegalalang yang kebetulan sawahnya lagi hijau-hijaunya. Kemudian berfoto ceria di Pura Taman Saraswati.
Mata air di Goa Gajah |
Setelah puas di Ubud, aku bertolak ke Nusa Penida. Ini adalah salah satu wishlist aku yang tercapai tahun ini. Rasanya tahun 2016 akhir aku sempat bertekad untuk ke Nusa Penida tahun berikutnya. Dan, ternyata terkabul. Betapa hebatnya kekuatan doa dalam hati. Tuhan memang memeluk mimpi-mimpimu dan mewujudkannya satu per satu. Aku mengeskplor pesona Pantai Atuh yang teduh, menyentuhkan jemari di Kelingking Beach yang lebih menyerupai kepala T-rex (kata orang-orang), dan menjenguk ceruk kecil Angel's Billabong serta Broken Beach. Nusa Penida menjanjikan pesona tak berbatas dengan kemegahan tebing-tebing dan debur ombaknya.
3. Purwokerto dan Baturaden
April 2017 aku bersama keluarga konvoi ke Purwokerto, kampong nenek Junisatya. Ya, namanya orang yang doyan jalan dan jajan, aku pun nggak mau berdiam diri di rumah nenek saja yang persis di kaki gunung Slamet. Aku mengunjungi pemandian air panas di Banjarnegara dan kawasan Miniatur Dunia Baturaden. Waktu itu long weekend, jadi lokasi wisata di Baturaden memang sungguh rame. Aku mengapresiasi adanya taman dengan beberapa miniatur bangunan dari berbagai negara sebagai lahan edukasi bagi anak-anak. Dan, memang benar, adik, kemenakan, dan beberapa sepupu cilik bahagia berada di sini.
4. Lampung Timur
Nah, ini pertama kalinya aku ke Waykambas yang jadi area konservasi populasi gajah sumatera. Nggak sembarang orang bisa masuk ke Taman Nasional Waykambas ini. Aku merasa beruntung bisa main-main sama gajah di sini.
Kawasan Lampung Timur itu ternyata luas. Setelah bermain dengan gajah di Taman Nasional Waykambas, aku pun mendatangi situs purbakala Pugong Rahardjo. Situsnya awet dan terawat.
Bermain sama gajah di Waykambas. |
5. Kebun Raya Bogor
Sudah bertahun-tahun rasanya aku tidak ke Kebun Raya Bogor. Kebetulan ada seorang teman yang baru pulang kuliah dari Amerika Serikat, rindu berwisata alam yang dekat-dekat saja, dia pun mengajakku ke Kebun Raya Bogor. Kami mampir di sebuah restoran di dalam Kebun Raya Bogor dengan view rumput hijau dengan pohon-pohon yang tertata rapi. Sungguh penyegaran perut, hati, dan pikiran.
View dari Green Garden Resto Kebun Raya Bogor. |
6. Tbilisi, Georgia
Akhirnya aku ke Eropa lagi. Tepat pertengahan hingga akhir Ramadhan, aku traveling ke Tbilisi, Georgia. Merasakan puasa di musim panas negeri Eropa yang berdurasi 18 jam. Aku mengunjungi banyak monumen di kawasan Old Tbilisi dan Freedom Square yang bersejarah di Tbilisi (baca di sini). Sebenarnya agak sedih nggak sempat extend untuk mengarungi kota-kota lain di Georgia yang ternyata didominasi oleh perbukitan dan wisata alam eksotis. Tbilisi hanya pembuka sajian alam yang dimiliki Georgia. Masih banyak pesona alam dan desa-desa yang asri di negara itu.
Freedom Square di Tbilisi, Georgia |
7. Padang, Bukittinggi, Payakumbuh
Ini sih agenda tahunan untuk pulang ke Padang, bertepatan dengan lebaran dan menghadiri pernikahan sepupu. Aku pulang ke Bukittinggi, rumah nenek yang selalu kurindu. Usai sorak-sorai pesta rakyat di nikahan sepupu, aku melipir ke Lembah Harau, Payakumbuh (cerita lengkapnya baca di sini). Untungnya Payakumbuh cuma 1 jam dari rumah nenek. Jadi aku memboyong beberapa orang ponakan cilik berjalan-jalan ke sana. Sekaligus aku menyapa syahdu tebing-tebing Harau yang mempesona itu dan mengenalkannya kepada Junisatya.
Lembah Harau yang termahsyur di Payakumbuh. |
Aku juga diajak oleh seorang teman untuk mengunjungi Makam Siti Nurbaya di Gunung Padang (vlognya lihat di sini). Makam Siti Nurbaya agak creepy, terjepit di antara 2 batu besar di puncak bukit Gunung Padang. Sebelum melewati makam Siti Nurbaya, tokoh fiksi yang kisah cintanya gagal itu, aku mampir ke Pilboks alias benteng peninggalan Jepang di Kota Padang. Benteng itu sayangnya tak terawat. Posisinya memang persis di lereng bukit yang menghadap ke laut. Fungsinya sebagai poligon untuk melihat arah kedatangan kapal-kapal yang akan berlabuh di Teluk Bayur dan Muara Padang. Waktu yang tersisa setelah melihat-lihat benteng, kuhabiskan di bagian puncak bukit yang menjadi taman untuk menikmati panorama Kota Padang.
8. Kepulauan Seribu (Sebira, Kelapa Dua, dan Pramuka)
Bulan Agustus aku berlayar ke pulau paling utara DKI Jakarta. Namanya Pulau Sebira atau Sabira. Pulau ini menjadi batas Kepulauan Seribu. Sebenarnya lokasinya malah lebih dekat ke Lampung dibanding ke Jakarta. Naik speedboat 4 jam, sementara naik kapal nelayan bisa sampai 9 jam. Masalahnya belum ada speedboat yang khusus penumpang untuk ke sana, karena memang bukan menjadi lokasi wisata.
Begitu aku sampai di sana di terik siang yang lumayan membakar kulit, aku merasa takjub dengan pulau itu. Ada wifi sumbangan dari Kominfo untuk seluruh warga pulau. Rupanya penghuni pulau ini didominasi oleh suku Bugis dan Makassar. Wah, pelayaran orang Sulawesi jauh juga ya. Bahkan tradisi angkat rumah yang ada di Makassar masih dipakai oleh warga Sebira. Sebenarnya Sebira punya potensi wisata karena pantai-pantainya bagus dan bersih. Ada penangkaran penyu juga di pantai mangrove. Tapi akses untuk perjalanan ke pulau ini yang belum oke, padahal sebagian anak-anak Sebira yang ingin lanjut sekolah SMA sudah berlayar ke sister island-nya, Pulau Kelapa Dua, bahkan hingga Jakarta. Mereka menumpang kapal nelayan untuk sampai ke Muara Angke, lho.
Setelah eksplor Sebira, aku lanjut perjalanan besoknya ke Pulau Kelapa Dua. Pantesan aja dibilang sister island dari Sebira karena penduduknya juga bersuku Bugis, Makassar, bahkan Bajo. Di sini ada beberapa spot kece untuk foto-foto. Setelah itu aku lanjut ke Pulau Pramuka yang salah satu warganya dapat Kalpataru tahun 2017 ini berkat daur ulang sampah plastik untuk dibikin taman organik dan beberapa kerajinan.
9. Gunung Anak Krakatau
Aku akhirnya berkesempatan mendaki gunung Anak Krakatau di perairan Lampung (cerita lengkapnya baca di sini). Meski ketinggiannya hanya beberapa ratus meter, tapi ini kesempatan emas buatku. Gunung Anak Krakatau merupakan kawasan konservasi yang kini tidak sembarang orang bisa naik ke dataran titik aman pendakian. Kebetulan aja ada Festival Krakatau yang diadakan setiap tahun di Lampung dan ada tur khusus untuk berlayar ke gunung Anak Krakatau dan melihat sisa-sisa letusan gunung maha dahsyat beberapa puluh tahun silam. Perjalanan untuk sampai ke Gunung Anak Krakatau ini nggak gampang. Dari Kalianda, aku berlayar selama 2 jam ke Pulau Sebesi, pulau yang lokasinya paling dekat dengan gunung ini. Kami harus menginap dulu semalam di sini karena waktu terbaik untuk ke area gunung adalah dini hari. Dari Pulau Sebesi, masih 4 jam berlayar lagi baru sampai di Pulau Anak Krakatau itu. Kebayang, kan, perjuangannya. Dari pelayaran 4 jam itu pukul 3 dini hari, kami harus siap langsung mendaki gunung Anak Krakatau yang isinya pasir semua. Meski pendakian hanya sekitar 500 meter, tapi lerengnya cukup curam. Kita harus serba hati-hati menginjak pasir kalau tidak ingin tanah longsor.
9. Bogor dan Panorama Pabangbon
Mendadak Bogor. Itu temaku hari itu. Sabtu pagi, aku berangkat menuju Bogor dan dikenalkan seorang anak Bogor sebuah tempat yang lagi hits. Panorama Pabangbon. Lokasinya di Leuwiliang, sekitar 2 jam dari Kota Bogor. Jadi kalau ke sini harus pagi-pagi biar nggak kejebak macet di kotanya sekaligus puas foto-fotonya. Panorama Pabangbon memang baru hits di sini. Aku suka tempat ini karena nggak ada pungli. Yang ada tiket masuk dan tiket untuk foto di setiap spot tebing Pabangbon. Jajanan warung di sini juga murah meriah. Aku makan soto mie bogor cuma lima ribu rupiah saja. Senangnya.
10. Lombok
Ini salah satu resolusi tahun 2017-ku yang tercapai: menginjakkan kaki di Lombok. Banyak yang nyindir, udah terbang sampai timur Indonesia tapi kok belum pernah ke Lombok. Iya, itu aku. Akhirnya kesampaian juga meski hanya 2 hari untuk menghadiri sebuah event internasional. Karena waktu yang sempit, aku hanya berdiam di Kota Mataram. Tapi aku nggak kehabisan ide. Jadi waktu 2 hari itu kumanfaatkan untuk wisata kuliner. Mungkin tahun depan ada kesempatan untuk eksplor Lombok dari pantai sampai gunungnya. Mari bantu aku mengamini ini.
Makan sate rembiga khas Lombok. |
11. Yogyakarta
Nah, ini juga resolusi dari tahun ke tahun yang belum tercapai. Terakhir ke Yogyakarta itu sekitar 8 tahun lalu. Udah lama banget, kan. Nah, baru ini aku sempat ke sini lagi dan mengunjungi beberapa titik wisata Jogja yang kini semakin berkembang. Wisata candi itu wajib. Sisanya wisata alam seperti Kebun Buah Mangunan, Puncak Pinus Dlingo, dan Tebing Breksi. Ohya, tidak lupa juga aku kunjungi Taman Sari Jogja di pusat kota. Mumpung bisa ke Jogja, aku memanfaatkan waktu sedemikian rupa. Padahal Jogja itu nggak jauh-jauh amat, ya. Tapi entah kenapa aku nggak pernah sempat untuk ke sana. Harus dicari satu alasan dulu untuk bisa menyempatkan diri berlibur di Jogja.
Kebun Buah Mangunan Yogyakarta |
12. Pandeglang, Carita, dan Tanjung Lesung
Ini edisi mengunjungi mertua di rumah dinasnya di Pandeglang. Alhasil, diajaklah aku berjalan-jalan, mantai, makan seafood, dan makan durian. Menjelang akhir tahun aku main-main di Pantai Carita dan Situ Cikedal. Lalu sebulan berikutnya dalam kunjungan berikutnya, aku diajak ke Tanjung Lesung dengan keluarga besar. Tahun lalu Tanjung Lesung jadi destinasi penutup tahun. Tahun ini juga sama. Ke sini lagi dan harga tiket masuknya naik 10 ribu rupiah dari tahun lalu. Mahal, ya. Tapi setidaknya kawasannya jadi lebih terawat kali ini. Air lautnya lebih jernih ditambah langit yang sedang cerah. Penutup 2017 sungguh manis di Tanjung Lesung.
Sekian kisah perjalananku selama 2017. Aku berharap tahun depan bisa lebih banyak mengikat manfaat dari setiap kisah perjalanan. Sudah ada beberapa wishlist perjalanan, nih, untuk 2018. Semoga satu per satu dapat terwujud.
sebagai orang bogor, aku merasa gagal belum ke Pabangbon T_T
BalasHapusHahaha. ayo ke Pabangbon Kak. :)
HapusSelama 2017 aku belum ke mana-mana hahahhahha. Hanya di sekitar saja, yang dekat-dekat. Ada sih misi tahun depan untuk keliling; tapi keliling kota di Jateng keseluruhan :-D
BalasHapusAjak-ajak dong Kak :)
HapusMbaaak, km sukses bikin aku iri dengki.. Uwww
BalasHapusSehat2 trs ya, kl main ke purwokerto lagi kabar2 yaaa
Kamu di Purwokerto ya? Wah asiiik, ada temen nih kalo ke sana lagi. :)
HapusMbaaak, km sukses bikin aku iri dengki.. Uwww
BalasHapusSehat2 trs ya, kl main ke purwokerto lagi kabar2 yaaa
Waaah,banyak bener cerita 'halan-halannya'. Bagus juga ya bikin rangkuman kayak gini. Nyontek konsepnya aaahhhh! ^_^
BalasHapusIseng-iseng aja Kak. Soalnya kebetulan ada beberapa perjalanan yang belum ditulis, jadi bikin rangkuman setahun dulu....:D
HapusAku deg-degan baca tulisan ini pas liat judulnya. Mikirnya, "yang Lamtim, kira-kira ada fotoku gak ya?"
BalasHapusEH TERNYATA ADA.
IYA ADA.
hahahaha.
Aku mau nulis rangkuman kayak gini juga awalnya. Tapi pas dipikir-pikir gak jadi. Gak banyak jalan-jalan juga >.<
BUkan aku lho yang bilang kalo ada Omnduut di situ. :))
HapusWaaah, Payakumbuh. Jadi inget masa ospek, disuruh nyanyiin salah satu lagu daerah. Kelompok kita milih itu itu, Ayam Den Lapeh. Kan ada Payakumbuah Payakumbuah nya wkwkw xD /ngaco/
BalasHapusNusa Penida ya Allah :) smeoga disegerakan tahun ini, amin.
Aamiin. Nusa Penida sungguh cantik. Aku rekomen Pantai Atuhnya. Cakep banget. Nyesel kalau gak ke sana. *tebarracuntraveling
HapusSeru-seru ih perjalanannya. Random banget tapi semua unik. Perjalanan memang punya takdirnya masing-masing ya. Alhamdulillah.
BalasHapusiyaaa, akhirnya ada yang nyadar juga kalau pejalanan aku setahun kemarin random banget. Malah ga direncanain banget. tetiba ada panggilan hati, jalan aja gitu. gak kaya perjalanan sebelumnya yang terencana waktu dan biaya dengan baik. Hahhaha
HapusSeru banget tahun 2017 kamu kak. Dari sedekat Pasar Baru, sampai sejauh Georgia. Dari hangatnya pantai, sampai dinginnya gunung.
BalasHapusPasar Baru itu menurutku salah satu hidden treasure-nya Jakarta, turis mancanegara harus diajak ke sana karena Pasar Baru jauh lebih menarik daripada Pasar Seni-nya Kuala Lumpur, imho.
Alhamdulillah, 2017 berwarna ya walaupun perjalanannya random gitu.
HapusAnw, masa sih Pasar Baru lebih menarik dari Pasar Seni KL? Ternyata Jakarta banyak kelebihannya ya dibanding KL. Nggak semuanya rumput tetangga selalu lebih indah ya, Kak. Rumput kita juga bagus :))