Jelajah Sumbawa (I), Sambutan Hangat dari Poto Tano
"Aku ingin ke Sumbawa," ucapku sekenanya saat berbincang dengan Junisatya tentang rencana traveling berikutnya.
Lalu, di lain kesempatan, teman seperjalananku sekaligus partner kerja terbaik yang sering mentraktirku makan juga sempat mengirim pesan lewat Whatsapp suatu hari, "Kita jalan ke mana gitu, yuk. Masa tahun ini nggak ada rencana jalan bareng."
Perbincangan singkat bersama Junisatya dan Ry Azzura itu berakhir di sebuah warung kopi awal tahun 2018. Tahun lalu kami berangkat ke Ubud dan Nusa Penida bareng, tahun ini pun kami merencanakan destinasi yang berbeda. Awalnya Ry bilang ingin ke Yogyakarta atau Malang. Lalu kupikir-pikir, kenapa tidak merealisasikan keinginanku untuk menginjak tanah Sumbawa. Bukan Sumba, ya. Sumbawa itu di Nusa Tenggata Barat, sementara Sumba itu di Nusa Tenggara Timur. Bukannya aku nggak pengin ke Sumba, tapi Sumbawa juga tak kalah menarik kok. Siapa tahu, setelah ini aku beneran bisa ke Sumba. Aku ingin menjelajahi Pulau Kenawa dan ingin berenang-renang di kolam legendaris Mata Jitu di Pulau Moyo.
Akhirnya semua setuju dengan usulku untuk menjelajah Sumbawa. Rara, teman kantor Ry sekaligus geng renangku di Bumi Wiyata Depok ikut bergabung bersama kami kali ini. Dan, lagi-lagi perjalanan kami ini tidak menggunakan tour agent mana pun. Modal nekat aja dengan persiapan yang kurang lebih hampir 6 bulan. Kami merancang itinerary, bikin tabungan trip bersama, hingga berharap dapat tiket promo ke Lombok. Anyway, sangat sedikit info tentang detail perjalanan ke Sumbawa. Kalau pun ada, informasinya masih kurang jelas. Karena itulah, aku berbagi di sini, berbagi tentang indahnya Sumbawa dan bagaimana bisa menjelajahi tanah itu.
Sampailah kami pada Agustus 2018, sesuai dengan yang kami rencanakan. Pesawatku mendarat di Lombok International Airport yang kini berganti nama jadi Zainuddin Abdul Madjid International Airport. Duh, kenapa nama bandaranya jadi panjang, ya? Susah untuk menghafal nama bandara pakai nama pahlawan lokal ini. Tapi, tak apa, hitung-hitung bisa mengenal nama tokoh yang mendirikan organisasi Islam terbesar di Lombok zaman dulu kala.
Saat aku turun pesawat, di sekitarku banyak sekali orang mengenakan rompi, kayak wartawan. Siapa ya mereka? Kami sama-sama menunggu barang dikeluarkan dari bagasi. Agak lama dari biasanya. Oh, aku baru mengerti, tentu saja, saat itu Lombok sedang berduka. Beberapa hari sebelum aku sampai di sana, Sembalun dan sekitar Lombok Utara dirundung gempa bumi hingga 6,4 SR. Gempa yang cukup besar hingga beberapa bangunan rusak kulihat dari berita di TV dan media sosial. Orang-orang berompi ini adalah para relawan dari berbagai instansi yang membawa barang-barang sumbangan yang akan didistribusikan ke camp-camp pengungsian. Jadi bukan wartawan, melainkan relawan.
Saat aku keluar di pintu kedatangan, banyak turis mancanegara yang duduk santai bahkan tiduran di pelataran bandara. Ramai sekali. Tidak biasanya bandara Lombok jadi penuh. Rupanya sebagian besar para turis asing ini sedang menunggu jadwal penerbangan masing-masing untuk evakuasi keluar dari Lombok. Ketika orang-orang ingin terbang meninggalkan pulau ini, aku bersama teman-teman traveling-ku baru saja sampai di sini. Memang awalnya kami sempat ragu untuk berangkat, terutama seorang temanku yang bernama Ry Azzura. Dia khawatir perjalanan ke Sumbawa yang sudah kami rancang berbulan-bulan itu tidaj kondusif. Tapi entah karena tekad atau nekat, kami tetap berangkat dengan segala pikiran positif di dalam kepala, bahwa semua akan baik-baik saja.
Kami langsung memesan taksi online yang bisa mengantar kami langsung ke Pelabuhan Kayangan di Lombok Timur. Lumayan jauh perjalanannya sekitar 2 jam. Selama 2 jam itu pula kami memanfaatkan waktu untuk tidur atau sekadar melihat-lihat sepanjang jalan.
Sepanjang jalan itu pula sopir kami bercerita bahwa sebagian bangunan di Lombok Utara rubuh dan rusak parah. Sudah 3 hari berlalu tapi banyak juga korban yang belum mau pulang ke rumahnya (bagi yang rumahnya masih utuh). Sebagian masih trauma, takut ada gempa besar lagi karena dalam 2 hari itu sudah ada ratusan gempa susulan. Sedih mendengarnya. Apalagi saat memasuki kawasan Lombok Timur, aku dapat melihat langsung tenda-tenda pengungsian yang didirikan seadanya di halaman sekolah, masjid, bahkan di depan kantor dinas pemerintah. Semoga mereka baik-baik saja, ya. Melihat banyaknya relawan yang satu pesawat denganku dari Jakarta, hatiku lega. Bantuan tiba tepat pada waktunya. Dan banyak yang mengapresiasi kesigapan relawan lokal yang mengevakuasi masyarakat. Alhamdulillah.
Aku sempat khawatir dengan jadwal kapal ferry untuk menyeberang ke Sumbawa. Untungnya sopir taksi online itu menenangkan. Semua transportasi sudah beroperasi normal. Jadi jadwal kapal pun aman. Begitu sampai di pelabuhan Kayangan, aku langsung membeli tiket kapal untuk kami berempat. Satu tiketnya seharga Rp17.000,00. Kapal berangkat setiap setengah jam sekali. Sebelum naik kapal, kami menyempatkan diri makan siang di sebuah warung makan yang menjajakan banyak makanan laut. Enak dan murah. Kalau kata Ry, beli apa saja di warung itu harganya tetap Rp20.000,00.
Suasana Pelabuhan Kayangan begitu tenang. Kata ibu warung, sebagian masih trauma sama gempa. Pelabuhan Kayangan ini berseberangan langsung dengan Gunung Rinjani. Jadi guncangan gempa sangat terasa. Saat aku menaiki kapal, aku melihat kemegahan Rinjani. Tak menyangka, para pendaki di sana ikut dievakuasi turun beberapa hari sebelum ini. Rinjani melepas kapal kami yang perlahan pergi meninggalkan Lombok. Semoga tetap aman, ya Rinjani, semoga tetap tentram, ya Lombok. Begitu iringan doaku kala berlayar siang itu.
Kami meninggalkan Pulau Lombok dengan syahdu. Setelah 2,5 jam naik ferry, kami merapat di Pelabuhan Poto Tano. Dan, begitu turun kapal, panorama bukit-bukit gersang tapi cantik terhampar di depan mata. Ya ampun, aku tak menyangka Poto Tano secantik ini. Jika sebelumnya pelabuhan Kayangan menawarkan kemegahan Rinjani yang kaki gunungnya menyentuh laut, Poto Tano malah menyambut kami dengan segala eksotika tak terkira. Ya, ya, mungkin aku berlebihan. Tapi kalau kamu ada di sana dan melihat langsung bukit gersang menguning serta perairan jernih di bawahnya, kamu akan paham bahwa inilah yang kamu butuhkan. Heaven on earth.
Dengan menyandang ransel di punggung dan menenteng stok makanan, kami berjalan ke arah pintu keluar pelabuhan hendak menyewa pick up yang mau mengantar ke Bukit Mantar. Ke sanalah tujuan kami sesungguhnya. Satu bukit dengan panorama yang indah ke arah barat. Agak susah mencari tumpangan di pelabuhan karena banyak calo berkeliaran menawarkan kami mobil sewaan dengan harga tidak rasional. Kami sempat kebingungan dan akhirnya mampir di sebuah warung untuk istirahat. Kami sekalian numpang bebersih badan yang sudah lepek, numpang men-charging hape karena sebentar lagi kami akan berada di kawasan yang tidak ada listrik dan air bersih.
Untungnya kami bertemu dengan seorang teman yang merupakan orang Bima tapi pernah tinggal di Jakarta. Ia memberikan kontak penyewaan ranger yang bisa antar-jemput ke Bukit Mantar. Sekarang transportasi ke sana cuma bisa pakai pick up. Dulu masih ada ojek, tetapi sudah dilarang karena ada kejadian motor jatuh ke jurang saat melewati tanjakan berliku di lereng bukit. Dengan menyew Rp400.000 untuk antar-jemput, kami menaikkan semua perlengkapan ke atas pick up. Percayalah, jalanan ke Bukit Mantar tidaklah ramah. Kami terguncang-guncang hebat di atas pick up, terguncang sambil melihat penorama cantik.
Saat menaiki pick up itu, kami masih bebas berdiri dan heboh sendiri melihat gugusan bukit gersang di pinggir laut. Inilah yang kucari, pemandangan yang membebaskan beban pikiran, bahkan beban ransel pun teringankan. Angin senja menyapa. Sesekali aku berteriak saat melewati jalanan berkelok dan disambut dengan bukit-bukit lainnya. Namun, kesenangan itu hanya sementara. Begitu tanjakan mulai terasa berat dan jalanan mulai tak karuan rusaknya, kami mulai tertawa-tawa karena tak bisa memotret dengan baik dalam keadaan kendaraan yang bergerak terus. Setiap ada jalan berlubang, di sana pulalah kami bersorak. Seseru itu. Baru hari pertama di sana, Sumbawa sudah memberikan suguhan cerita perjalanan yang sungguh menarik untuk kubagi di blog ini.
Kami melewati desa budaya Mantar sebelum sampai ke puncak. Desa Mantar sungguh kecil dan kebanyakan terdiri dari rumah panggung. Kami melintasi jalanan kampung itu sambil dilihat oleh beberapa warga yang senyum-senyum melihat kami. Tak jauh dari sana, ada tanjakan lebih terjal dan berkelok hingga sampai ke sebuah dataran. Inilah yang dinamakan panorama Bukit Mantar. Hari sudah sangat senja. Pemandangan di bawah kami tampak keemasan dijilat matahari.
Tak mau berlama-lama karena sama sekali tidak ada penerangan di atas sana, kami langsung mendirikan tenda. Iya, tenda di pinggiran panorama Bukit Mantar. Hanya kami saja, bersama bapak penjaga camping ground yang tinggal tak jauh dari sana. Rupanya saat kami menghubungi ranger untuk menyewa pick up-nya, sang ranger sudah memberi tahu soal kedatangan kami kepada bapak penjaga camping ground, sekaligus menitipkan kami yang cuma berempat ini. Katanya, ranger akan menjemput kami untuk turun besok pagi. Oke, dengan senang hati, Pak.
Kami membawa 2 tenda dan didirikan berdampingan menghadap panorama. Ketika gelap merayap, aku mengeluarkan lampu emergency mini sebagai penerangan kami. Lalu kami menggelar tikar kecil yang dipinjamkan oleh ranger yang mengantar kami. Katanya untuk duduk-duduk di luar tenda menikmati bintang. Ah, ya, milky way, itu yang kami tunggu. Semoga cahaya-cahaya kecil dari permukiman di bawah sana tak mengganggu saat kami mengabadikan milky way dalam lensa.
Lanjut baca : Jelajah Sumbawa (II): Salam dari Bukit Mantar
2. Beli bekal makanan dan minuman di pelabuhan Poto Tano.
3. Jika ingin bebersih, ada kamar mandi di camping ground yang bisa digunakan bergantian. Tidak bisa buat mandi karena stok air bersih terbatas. Bayar Rp5.000 per orang untuk penggunaan air bersih.
4. Ada colokan di pondokan. Disarankan bawa colokan T atau kabel rol kecil untuk menge-charge gadget. Bayar Rp5.000 per item untuk penggunakan listrik.
5. Bayar jasa Pak penjaga camping ground seikhlasnya. Bapaknya baik, mau bantu kami mendirikan tenda gelap-gelapan.
Lalu, di lain kesempatan, teman seperjalananku sekaligus partner kerja terbaik yang sering mentraktirku makan juga sempat mengirim pesan lewat Whatsapp suatu hari, "Kita jalan ke mana gitu, yuk. Masa tahun ini nggak ada rencana jalan bareng."
Perbincangan singkat bersama Junisatya dan Ry Azzura itu berakhir di sebuah warung kopi awal tahun 2018. Tahun lalu kami berangkat ke Ubud dan Nusa Penida bareng, tahun ini pun kami merencanakan destinasi yang berbeda. Awalnya Ry bilang ingin ke Yogyakarta atau Malang. Lalu kupikir-pikir, kenapa tidak merealisasikan keinginanku untuk menginjak tanah Sumbawa. Bukan Sumba, ya. Sumbawa itu di Nusa Tenggata Barat, sementara Sumba itu di Nusa Tenggara Timur. Bukannya aku nggak pengin ke Sumba, tapi Sumbawa juga tak kalah menarik kok. Siapa tahu, setelah ini aku beneran bisa ke Sumba. Aku ingin menjelajahi Pulau Kenawa dan ingin berenang-renang di kolam legendaris Mata Jitu di Pulau Moyo.
Akhirnya semua setuju dengan usulku untuk menjelajah Sumbawa. Rara, teman kantor Ry sekaligus geng renangku di Bumi Wiyata Depok ikut bergabung bersama kami kali ini. Dan, lagi-lagi perjalanan kami ini tidak menggunakan tour agent mana pun. Modal nekat aja dengan persiapan yang kurang lebih hampir 6 bulan. Kami merancang itinerary, bikin tabungan trip bersama, hingga berharap dapat tiket promo ke Lombok. Anyway, sangat sedikit info tentang detail perjalanan ke Sumbawa. Kalau pun ada, informasinya masih kurang jelas. Karena itulah, aku berbagi di sini, berbagi tentang indahnya Sumbawa dan bagaimana bisa menjelajahi tanah itu.
Sampailah kami pada Agustus 2018, sesuai dengan yang kami rencanakan. Pesawatku mendarat di Lombok International Airport yang kini berganti nama jadi Zainuddin Abdul Madjid International Airport. Duh, kenapa nama bandaranya jadi panjang, ya? Susah untuk menghafal nama bandara pakai nama pahlawan lokal ini. Tapi, tak apa, hitung-hitung bisa mengenal nama tokoh yang mendirikan organisasi Islam terbesar di Lombok zaman dulu kala.
Saat aku turun pesawat, di sekitarku banyak sekali orang mengenakan rompi, kayak wartawan. Siapa ya mereka? Kami sama-sama menunggu barang dikeluarkan dari bagasi. Agak lama dari biasanya. Oh, aku baru mengerti, tentu saja, saat itu Lombok sedang berduka. Beberapa hari sebelum aku sampai di sana, Sembalun dan sekitar Lombok Utara dirundung gempa bumi hingga 6,4 SR. Gempa yang cukup besar hingga beberapa bangunan rusak kulihat dari berita di TV dan media sosial. Orang-orang berompi ini adalah para relawan dari berbagai instansi yang membawa barang-barang sumbangan yang akan didistribusikan ke camp-camp pengungsian. Jadi bukan wartawan, melainkan relawan.
Saat aku keluar di pintu kedatangan, banyak turis mancanegara yang duduk santai bahkan tiduran di pelataran bandara. Ramai sekali. Tidak biasanya bandara Lombok jadi penuh. Rupanya sebagian besar para turis asing ini sedang menunggu jadwal penerbangan masing-masing untuk evakuasi keluar dari Lombok. Ketika orang-orang ingin terbang meninggalkan pulau ini, aku bersama teman-teman traveling-ku baru saja sampai di sini. Memang awalnya kami sempat ragu untuk berangkat, terutama seorang temanku yang bernama Ry Azzura. Dia khawatir perjalanan ke Sumbawa yang sudah kami rancang berbulan-bulan itu tidaj kondusif. Tapi entah karena tekad atau nekat, kami tetap berangkat dengan segala pikiran positif di dalam kepala, bahwa semua akan baik-baik saja.
Kami langsung memesan taksi online yang bisa mengantar kami langsung ke Pelabuhan Kayangan di Lombok Timur. Lumayan jauh perjalanannya sekitar 2 jam. Selama 2 jam itu pula kami memanfaatkan waktu untuk tidur atau sekadar melihat-lihat sepanjang jalan.
Sepanjang jalan itu pula sopir kami bercerita bahwa sebagian bangunan di Lombok Utara rubuh dan rusak parah. Sudah 3 hari berlalu tapi banyak juga korban yang belum mau pulang ke rumahnya (bagi yang rumahnya masih utuh). Sebagian masih trauma, takut ada gempa besar lagi karena dalam 2 hari itu sudah ada ratusan gempa susulan. Sedih mendengarnya. Apalagi saat memasuki kawasan Lombok Timur, aku dapat melihat langsung tenda-tenda pengungsian yang didirikan seadanya di halaman sekolah, masjid, bahkan di depan kantor dinas pemerintah. Semoga mereka baik-baik saja, ya. Melihat banyaknya relawan yang satu pesawat denganku dari Jakarta, hatiku lega. Bantuan tiba tepat pada waktunya. Dan banyak yang mengapresiasi kesigapan relawan lokal yang mengevakuasi masyarakat. Alhamdulillah.
Aku sempat khawatir dengan jadwal kapal ferry untuk menyeberang ke Sumbawa. Untungnya sopir taksi online itu menenangkan. Semua transportasi sudah beroperasi normal. Jadi jadwal kapal pun aman. Begitu sampai di pelabuhan Kayangan, aku langsung membeli tiket kapal untuk kami berempat. Satu tiketnya seharga Rp17.000,00. Kapal berangkat setiap setengah jam sekali. Sebelum naik kapal, kami menyempatkan diri makan siang di sebuah warung makan yang menjajakan banyak makanan laut. Enak dan murah. Kalau kata Ry, beli apa saja di warung itu harganya tetap Rp20.000,00.
Suasana Pelabuhan Kayangan begitu tenang. Kata ibu warung, sebagian masih trauma sama gempa. Pelabuhan Kayangan ini berseberangan langsung dengan Gunung Rinjani. Jadi guncangan gempa sangat terasa. Saat aku menaiki kapal, aku melihat kemegahan Rinjani. Tak menyangka, para pendaki di sana ikut dievakuasi turun beberapa hari sebelum ini. Rinjani melepas kapal kami yang perlahan pergi meninggalkan Lombok. Semoga tetap aman, ya Rinjani, semoga tetap tentram, ya Lombok. Begitu iringan doaku kala berlayar siang itu.
Kami meninggalkan Pulau Lombok dengan syahdu. Setelah 2,5 jam naik ferry, kami merapat di Pelabuhan Poto Tano. Dan, begitu turun kapal, panorama bukit-bukit gersang tapi cantik terhampar di depan mata. Ya ampun, aku tak menyangka Poto Tano secantik ini. Jika sebelumnya pelabuhan Kayangan menawarkan kemegahan Rinjani yang kaki gunungnya menyentuh laut, Poto Tano malah menyambut kami dengan segala eksotika tak terkira. Ya, ya, mungkin aku berlebihan. Tapi kalau kamu ada di sana dan melihat langsung bukit gersang menguning serta perairan jernih di bawahnya, kamu akan paham bahwa inilah yang kamu butuhkan. Heaven on earth.
Dengan menyandang ransel di punggung dan menenteng stok makanan, kami berjalan ke arah pintu keluar pelabuhan hendak menyewa pick up yang mau mengantar ke Bukit Mantar. Ke sanalah tujuan kami sesungguhnya. Satu bukit dengan panorama yang indah ke arah barat. Agak susah mencari tumpangan di pelabuhan karena banyak calo berkeliaran menawarkan kami mobil sewaan dengan harga tidak rasional. Kami sempat kebingungan dan akhirnya mampir di sebuah warung untuk istirahat. Kami sekalian numpang bebersih badan yang sudah lepek, numpang men-charging hape karena sebentar lagi kami akan berada di kawasan yang tidak ada listrik dan air bersih.
Untungnya kami bertemu dengan seorang teman yang merupakan orang Bima tapi pernah tinggal di Jakarta. Ia memberikan kontak penyewaan ranger yang bisa antar-jemput ke Bukit Mantar. Sekarang transportasi ke sana cuma bisa pakai pick up. Dulu masih ada ojek, tetapi sudah dilarang karena ada kejadian motor jatuh ke jurang saat melewati tanjakan berliku di lereng bukit. Dengan menyew Rp400.000 untuk antar-jemput, kami menaikkan semua perlengkapan ke atas pick up. Percayalah, jalanan ke Bukit Mantar tidaklah ramah. Kami terguncang-guncang hebat di atas pick up, terguncang sambil melihat penorama cantik.
Saat menaiki pick up itu, kami masih bebas berdiri dan heboh sendiri melihat gugusan bukit gersang di pinggir laut. Inilah yang kucari, pemandangan yang membebaskan beban pikiran, bahkan beban ransel pun teringankan. Angin senja menyapa. Sesekali aku berteriak saat melewati jalanan berkelok dan disambut dengan bukit-bukit lainnya. Namun, kesenangan itu hanya sementara. Begitu tanjakan mulai terasa berat dan jalanan mulai tak karuan rusaknya, kami mulai tertawa-tawa karena tak bisa memotret dengan baik dalam keadaan kendaraan yang bergerak terus. Setiap ada jalan berlubang, di sana pulalah kami bersorak. Seseru itu. Baru hari pertama di sana, Sumbawa sudah memberikan suguhan cerita perjalanan yang sungguh menarik untuk kubagi di blog ini.
Kami melewati desa budaya Mantar sebelum sampai ke puncak. Desa Mantar sungguh kecil dan kebanyakan terdiri dari rumah panggung. Kami melintasi jalanan kampung itu sambil dilihat oleh beberapa warga yang senyum-senyum melihat kami. Tak jauh dari sana, ada tanjakan lebih terjal dan berkelok hingga sampai ke sebuah dataran. Inilah yang dinamakan panorama Bukit Mantar. Hari sudah sangat senja. Pemandangan di bawah kami tampak keemasan dijilat matahari.
Tak mau berlama-lama karena sama sekali tidak ada penerangan di atas sana, kami langsung mendirikan tenda. Iya, tenda di pinggiran panorama Bukit Mantar. Hanya kami saja, bersama bapak penjaga camping ground yang tinggal tak jauh dari sana. Rupanya saat kami menghubungi ranger untuk menyewa pick up-nya, sang ranger sudah memberi tahu soal kedatangan kami kepada bapak penjaga camping ground, sekaligus menitipkan kami yang cuma berempat ini. Katanya, ranger akan menjemput kami untuk turun besok pagi. Oke, dengan senang hati, Pak.
Kami membawa 2 tenda dan didirikan berdampingan menghadap panorama. Ketika gelap merayap, aku mengeluarkan lampu emergency mini sebagai penerangan kami. Lalu kami menggelar tikar kecil yang dipinjamkan oleh ranger yang mengantar kami. Katanya untuk duduk-duduk di luar tenda menikmati bintang. Ah, ya, milky way, itu yang kami tunggu. Semoga cahaya-cahaya kecil dari permukiman di bawah sana tak mengganggu saat kami mengabadikan milky way dalam lensa.
Lanjut baca : Jelajah Sumbawa (II): Salam dari Bukit Mantar
Hal yang harus kamu tahu sebelum kemping di Bukit Mantar
1. Sewa pick up Rp400.000/pp.2. Beli bekal makanan dan minuman di pelabuhan Poto Tano.
3. Jika ingin bebersih, ada kamar mandi di camping ground yang bisa digunakan bergantian. Tidak bisa buat mandi karena stok air bersih terbatas. Bayar Rp5.000 per orang untuk penggunaan air bersih.
4. Ada colokan di pondokan. Disarankan bawa colokan T atau kabel rol kecil untuk menge-charge gadget. Bayar Rp5.000 per item untuk penggunakan listrik.
5. Bayar jasa Pak penjaga camping ground seikhlasnya. Bapaknya baik, mau bantu kami mendirikan tenda gelap-gelapan.
Tempatnya kelihatan masih belum ramai. Sesuai selera nih...
BalasHapuswahh ini cerita yang saya tunggu-tunggu setelah lihat IG mu berkeliaran di Sumbawa pasca gempa lombok. Seru euy.
BalasHapusjadu pengen kesana juga deh. Ajak akooh kk!
Ah, aku jadi malu karena ditungguin. Jadi semangat nulis Jelajah Sumbawa part berikutnya. Nanti mampir lagi ya Mba. :))
HapusSumbawa dan Lombok salah satu destinasi wisata yang ingin kukunjungi juga mbak, wah asyik dan seru perjalanan bikin kepengen juga jadinya :)
BalasHapusKomplit sekali petualangan Sumbawa nya Num. Aku pernah ke Pelabuhan Khayangan, menakjubkan memang pemandangannya. Tapi mendaratnya di Benete bukan di Poto Tano. Kayaknya mesti remedial nih
BalasHapusBaca cerita keberangkatan aja udah seru banget, apalagi dilengkapi dengan tips dan info yang bermanfaat banget bagi yang sedang merencanakan ke Sumbawa. Ditunggu lanjutannya, mbak
BalasHapusWah keren banget pemandangannya Hanum, terbilang berani juga ya jalan ke sana pasca gempa, aku masih takut mau ke mana-mana abis berita palu hiks
BalasHapusSebenarnya agak waswas Mba. Tapi karena tiket nggak mungkin di-refund karena mepet waktu berangkat, ya kami tetap jalan dengan banyak doa. Dan, alhamdulillah baik-baik aja.
HapusFinally tercapai ya plan nya. Ga bs bayangin kesana saat ada peristiwa itu di Lombok,pasti nguat2in ati yaa
BalasHapusIya, alhamdulillah Mba. Jadi banyak bersyukur.
HapusAlhamdulillah lombok masih bisa bertahan ya kak.. semoga segera aman kembali.
BalasHapusAamiin Kak.
HapusJd Bukit Mahar emang menyediakan failitas kemping ya mbak?
BalasHapusAlhamdulillah akhirnya jadi juga ke sana ya. Seru juga ya perjalanan sendiri tanpa tour agent. Jd pengen jg kapan2 :D
Iya. Bisa pinjam tenda juga di sana kalau nggak bawa tenda. Kalau kami sih sudah prepare perlengkapan kemping dari Jakarta soalnya nggak tau di sana ada penyewaan juga.
HapusTempatnya masih sepi yaa, cantik pula. Rasanya perjalanan panjang dan deg2an terbayar lunas ya mba :)
BalasHapusIya. Sepi karena abis gempa juga Mba. Tapi jadinya lebih enak kalau sepi begini
HapusSelamat kakaaaa, sudah Menjelajah Indonesia Timur. Jangan seperti aku yang masih sebatas angan-angan :P
BalasHapusBiasanya yang sebatas angan ini bisa kejadian nih kak... :))
HapusIni nih yang aku cari,, cerita piknik ke Sumbawa. Lanjutannya belum ada kan ya? Aku tungguin nih. ;)
BalasHapusBtw, salam kenal, aku Dini.
Salam kenal juga kak. Tungguin ya Sumbawa part 2-nya.
HapusAduh asyiknya jalan-jalan di sana, jadi pengen piknik ke situ juga nih kak, kapan-kapan piknik bareng yuk??? hehe,
BalasHapus