Bercerita tentang Rasa Timur dari Tanah Papua
Siapa yang sudah pernah ke Papua dan Maluku? Langkahku baru sampai sejauh Maluku, itu pun baru menginjak Ambon dan Kei. Melangkah ke Papua mungkin akan jadi pencapaian besar dalam kisah traveling-ku. Tapi itu nanti. Belum kesampaian aku menginjak Papua sampai saat ini.
Namun, meski langkahku masih sejauh Maluku, aku merasakan sesuatu yang berbeda di negeri timur Indonesia. Entah kenapa, aku suka alamnya yang masih asri, suka dengan keindahan baharinya yang masih beraneka ragam dan berwarna, kaya dengan hutan dan hasil alam. Seindah itu negeri timur yang dikenal banyak orang.
Kebetulan sekali, aku datang ke acara Econusa Outlook 2022 yang mengangkat tema Rasa Timur. Mungkin kerinduanku dengan negeri timur setidaknya terbayar di acara ini.
Econusa Outlook 2022 diadakan oleh Econusa yang selama ini concern mengangkat kampanye menjaga hutan dan laut khususnya di tanah Papua dan Maluku. Econusa sengaja merangkumnya dalam Outlook Econusa Rasa Timur. Betapa bangganya aku dapat hadir di event ini, melihat Papua dari kacamata berbeda.
Berbicara tentang rasa timur, membuatku merinding sepanjang acara. Keynote speaker yang hadir adalah orang-orang kritis dan telah bergerak membangun asa untuk meningkatkan rasa timur itu agar terdengar oleh dunia. Ada Dr. Johny Kamuru, M. Si., Bupati Kabupaten Sorong; ada Pak Bustar Maitar, CEO Yayasan Econusa; Pendeta atseba Reyna Tuasela, Gereja Protestan Indonesia di Papua; dan Yulince Zonggonau, pendamping masyarakat Teluk Arguni, Kaimana, Papua Barat. Mereka bercerita tentang rasa timur dari sudut pandang berbeda.
Masyarakat Adat
Di acara Econusa Outlook 2022 ini aku mendapat insight baru tentang makna masyarakat adat. Sebelum ini, aku sudah pernah mengenal tentang masyarakat adat dari beberapa organisasi nirlaba yang memperjuangkan eksistensi masyarakat adat itu sendiri. Kali ini, dengan mendengar paparan beberapa keynote speaker tentang masyarakat adat di Papua, aku memahami satu hal. Bagi masyarakat adat di Tanah Papua, hutan seperti ibu yang menghidupi. Mereka mendapatkan sagu, babi, dan rusa sebagai bahan pangan. Durian dan matoa untuk camilan. Tumbuh-tumbuhan sebagai obat-obatan. Kayu untuk membuat rumah dan perahu.
Masyarakat adat itu hidup dengan memanfaatkan apa yang alam berikan kepada mereka. Mereka pula yang selama ini menjaga hutan secara turun-temurun. Pertanyaannya, apakah kini masyarakat adat itu terpinggirkan dengan berbagai kepentingan dan investasi masuk ke tanah Papua? Pak Johny Kamuru sebagai Bupati Sorong, Papua Barat bercerita bahwa pemerintah selaku pemegang kekuasaan memiliki peranan penting dalam menjaga hutan agar tidak dieksploitasi berlebihan. Karena itu, pemerintah kabupaten Sorong mulai menindak tegas dan mencabut izin perusahaan kelapa sawit yang tidak dikelola dengan baik. Hal ini dilakukan dengan harapan bahwa pengelolaan lahan dapat dikembalikan kepada masyarakat adat.
Beradat Jaga Hutan, Beradat Jaga Laut
Slogan ini digaungkan oleh Econusa yang berkomitmen menyuarakan perlindungan hutan dan laut demi mencegah krisis iklim. Isu krisis iklim sebenarnya sudah sangat lama kita dengar. Namun, apa solusinya?
Bagi masyarakat asli Papua yang bermukim di sekitar hutan, pemenuhan kebutuhan pangan amat bergantung pada hasil hutan. Harmoni antara hutan dan masyarakat di Papua tercermin dalam pola hidu mencari makan yang bersumber dari hutan. Apa jadinya jika Papua tidak lagi menjadi rumah bagi kekayaan keanekaragaman hayati dan benteng ketahanan pangan bagi masyarakat?
Kemandirian Ekonomi Masyarakat Adat
Hal yang ingin sekali dicapai oleh banyak pihak mengenai tanah Papua dan Maluku adalah pertumbuhan ekonomi yang meningkat dengan memberdayakan masyarakat lokal. Kalau bicara tanah Papua, kita tentu ingatnya PT Freeport Indonesia yang mendominasi pertumbuhan ekonomi masyarakat Papua sejak lama. Tentu ini menguntungkan. Namun, akan lebih menguntungkan lagi jika masyarakat Papua dapat memiliki, mengelola, dan memanfaatkan hasil alamnya secara berkelanjutan.
Dari pemaparan Ibu Amalia Adininggar, Deputi Bidang Ekonomi Bappenas, negeri Timur Indonesia menyumbang pertumbuhan ekonomi hingga 10% pada tahun 2021. Artinya, kita mulai bangkit dari keterpurukan ekonomi selama pandemi dan Papua-Maluku memberi sumbangsih sebagai penghasil emas dan tembaga
Di balik itu, kita juga harus kritis memikirkan dampak krisis iklim jika alam dieksploitasi besar-besaran. Solusinya adalah perbaikan tata kelola seperti yang sedang dilakukan Bupati Sorong untuk menjaga tanah adat, perbaikan alam, aktivitas operasional perusahaan investasi yang masuk ke Papua.
Defending Paradise
Tahun 2022, Econusa akan lebih menggaungkan #DefendingParadise demi keragaman biodiversitas di Tanah Papua dan Kepulauan Maluku. Jika ekosistemnya masih terjaga, artinya keseimbangan iklim bumi dan ketersediaan sumber kehidupan juga terjaga.
Tanah Papua memiliki hutan hujan tropis terbesar di dunia saat ini. Tentu ini menjadi concern tidak hanya orang Papua dan Indonesia, melainkan dunia internasional. Jangan sampai hutan hujan tropis ini terkikis. Kita tidak lagi dapat melihat keragaman jenis burung indah dari Papua karena habitatnya ditebang. Keutuhan wilayah adat yang dihuni oleh masyarakat penjaga hutan (masyarakat adat) juga terkikis.
Econusa bersama pemerintah daerah dan beberapa pakar mulai melakukan pelatihan bagi masyarakat untuk dapat mengembangkan potensi desanya yang berujung pada kemandirian ekonomi. Kenapa tidak kita dukung semangat positif yang digalang oleh Econusa ini.
Pak Bustar Maitar, CEO Yayasan Econusa mengharapkan kerja sama banyak pihak untuk melindungi alam agar krisis iklim tidak menimbulkan masalah bagi generasi berikutnya. Pdt. Batseba Reyna dari Gereja Protestan Indonesia di Papua telah bergerak memberdayakan masyakarat dalam membuat abon ikan gastor, kakap, dan mujair serta pelatihan pemasarannya. Pdt Batseba Reyna berfokus pada keterampilan dan peningkatan skill masyarakat untuk mengolah dan memproduksi hasil alam.
Senada dengan sang pendeta, aku juga mendengar cerita Yulince Zanggonau yang tahu sekali potensi tanah kelahirannya. Dia salah satu anak muda berbakat Papua yang pulang ke kampung halaman dan membangun kampungnya. Yulince mulai memantau pengelolaan budidaya holtikultura dan tanaman-tanaman yang berpotensi menjadi komoditas masyarakat lokal.
"Di Kaimana, kami melestarikan sasi agar alam dan seisinya tetap lestari. Pemanfaatan hasil bumi seperti pala dilakukan dengan tidak merusak alam. Kearifan lokal penting untuk menjaga hutan," kisah Yulince.
Yulince adalah potret generasi muda yang sadar betul kemampuan dirinya dapat membantu mengembangkan visi masyarakat. Papua butuh banyak sepak terjang Pendeta Batseba dan Yulince yang menjadi garda terdepan untuk mengelola sumber daya alam dengan cerdas dan berkelanjutan.
Sebegitu kayanya Papua. Rasa Timur itu tak melulu tentang wisata. Tanah Papua adalah tanah surga segala kehidupan. Dari sana muncul beragam rasa terhadap Papua, bahwa Papua adalah kita. Jangan sampai alam Papua tak lagi menyanyikan senandung surga karena alamnya yang terkikis. Mari kita ikut menjaganya bersama.
Terima kasih Econusa Outlook 2022 telah memberi rasa timur berbeda padaku hari itu. Semoga Defending Paradise yang didamba dari tanah surga timur itu dapat terus bergaung.
Komentar
Posting Komentar